Lelaki di Hari Jumat

Sekitar dua tahun yang lalu, saat saya masih duduk di semester tiga bangku kuliah. Seorang native speaker bahasa Jepang baru beberapa hari menginjakkan kaki di kampus ini. Karena ini pertama kalinya “sensei” mengunjungi Indonesia, tentu ada banyak hal yang menarik perhatiannya. Salah satunya saat hendak ke kantin, saya dan seorang teman berpapasan dengannya. Beliau menghentikan langkah kaki kami dengan pertanyaan, kira-kira seperti ini “Kenapa semua laki-laki berkumpul di sana?” sambil menunjuk Masjid di sudut fakultas. Hari itu memang hari Jumat, dan tepat saat kaum Adam sedang menjalankan ibadah salat Jumat. Kami menjelaskan dengan bahasa Jepang yang terbata-bata, entah karena kemampuan bahasa Jepang kami yang payah atau pertanyaannya yang belum pernah kami dengar sebelumnya.  
“Ehm, mereka sedang beribadah”
“Soudesuka. Lalu apakah mereka tidak beribadah juga?” Menunjuk sisi samping rumah ibadah, ada kantin dan joglo yang masih riuh dengan kaum Adam yang lain. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut sensei. Pemandangan seperti ini memang lazim di kampus ini pada hari Jumat. Sudah menjadi hal yang lumrah, kalau banyak laki-laki lebih memilih “ngaret” saat melakukan ibadah. Padahal khutbah jumat sudah menggema sedari tadi.
  Kami berdua saling tatap sejenak, bingung mencari jawaban yang tepat. Akhirnya teman saya menjawab, “Ee-to, mereka tidak beribadah karena mungkin bukan Islam”. Di Negara yang mayoritas muslim, tentu ini jawaban yang paling “ngawur”. Mungkin kalau menjelaskan dengan bahasa Indonesia akan lebih mudah. Tapi karena harus bahasa Jepang, apa boleh buat itulah jawaban yang paling benar dengan keterbatasan kosakata bahasa Jepang kami. Sensei hanya manggut-manggut sembari berkata “Soudesuka”. Sebelum ditambah pertanyaan lain, kami segera permisi, menunduk sebentar sambil diiringi senyum selebar mungkin.
Pertanyaan sensei kala itu, terngiang sampai sekarang. Dan kondisi yang sama masih saya jumpai di puluhan Jumat setelahnya. Bahkan di salah satu Jumat, saya kaget bukan kepalang saat ada beberapa laki-laki yang melakukan salat berjamaah. Padahal salat Jumat baru saja usai. Bukan berarti suudzan, tapi saat itu saya terus berfikir negatif. Entah mereka terlambat mengikuti salat Jumat hingga melakukan salat Jumat “ala” mereka atau mereka sedang menjalankan salat sunnah yang lain. Wallahualam.
Fenomena salat Jumat yang wajib bagi kaum Adam ini sering menggelitik saya. Sudah ratusan Jumat yang saya lewati selama 21 tahun terakhir. Makin ke sini, banyak orang yang mengganggapnya bukan lagi ibadah yang wajib. Ibadah yang harus ditegakkan meski di tengah badai sekalipun. Banyak laki-laki sekarang yang kalau sempat ya salat, kalau ga yaa apaboleh dibuat. Terlebih lagi kalau sudah jauh dari masjid, atau saat dalam perjalanan. Kalaupun berangkat ke Masjid, hanya segelintir saja yang mendengarkan khutbah dengan tulus. Sebagian besar, terutama yang di luar masjid, mereka sibuk update status. Khutbah tidak lagi menjadi bagian penting dari ibadah ini.
Tidak ada yang benar-benar buruk maupun benar-benar baik di dunia ini. Meski banyak lelaki yang tidak begitu mengindahkan salat Jumat, tapi saya yakin masih ada sebagian lelaki di luar sana yang sangat menantikan hari Jumat. Karena keistimewaan Jumat yang luar biasa, terutama bagi laki-laki. Karena pada hari inilah, kecintaan mereka akan Allah diuji. Mereka akan memilih meninggalkan urusan dunia, sekalipun itu menyangkut hidup-mati karirnya, dengan ikhlas menemui Allah atau tetap berkutat pada urusan duniawinya. Tapi saya tidak bisa menghakimi mana laki-laki yang baik dan buruk hanya karena satu ibadah ini. Kalau saya jadi lelaki, mungkin saya juga termasuk bagian salah satu lingkaran tersebut. Entah di pusaran yang baik atau buruk.
Namun karena sudut pandang ini dilihat dari sisi perempuan, jadi sudah sepantasnya saya marah pada laki-laki yang meninggalkan urusan dengan Allah hanya karena dunia. Karena perempuan menginginkan imam, seorang yang bisa dijadikan kompas saat mencari jalan pulang ke Sang Pemilik kehidupan. Tapi sekali lagi, Ibadah memang urusan tiap-tiap pribadi dengan Allah. Jadi kalaupun saya berpendapat demikian, penilaian tetap 100% ada pada tangan Allah SWT. Saya tidak bisa menilai baik-buruknya orang hanya karena tidak melaksanakan ibadah yang kasat mata.
Hal ini juga selalu saya jadikan pelajaran buat diri saya sendiri. Mungkin juga hal-hal semacam ini sengaja ditampakkan Allah untuk menegur ibadah saya. Wallahualam. Yang jelas, sebagai makhluk yang diciptakan, Seharusnya saya dan kita semua mulai memikirkan hal-hal yang pasti. Ya, apalagi kalau bukan akhirat. Karena kematian bukanlah akhir dari segalanya, masih ada yang namanya kehidupan di akhirat kelak. Sebelum menuju ke sana, kita dihadapkan pada dua jalan. Dan banyak di antara kita sering kali terjerat di jalan yang salah. Karena sifat dunia yang melenakan. Tapi di antara ribuan orang yang salah jalan tersebut, masih ada yang putar haluan, dan mencari jalan keluar, kembali ke jalan yang benar. Meski tidak mudah. Seberapun besarnya niatan kita kembali ke jalan yang benar, terkadang kita masih tersesat lagi dan lagi, bahkan kembali ke jalan salah. 
Oleh karena itu kita butuh petunjuk, tidak cukup hanya bekal niat yang besar. Salah satu petunjuk yang paling nyata adalah Allah SWT. Karena ke mana pun kita menghadap, di situlah Allah berada. Penolong yang begitu dekat. Mari bersama-sama kita mencari pertolongan, kemana lagi kalau bukan ke Sang Pencipta.

Ahad, 10 Januari 2016 11:08 WIB      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dengan Uang Belanja 20 ribu, Kamu Bisa Memasakkan 3 Menu Kaya Protein Ini untuk Suami loh, Cobain Yuk!

Hampir Lupa Jatuh Cinta

Perjuangan Pejuang Wifi Gratisan