Janji Tak Lagi Mandul



Janji, Tak Lagi Mandul



Janji Setya, cowok bertampang lumayan yang punya segalanya. Dia sanggup membuat cewek-cewek meleleh. Tak hanya teman cewek seangkatan yang dibuatnya heboh tebar pesona, tapi juga senior-senior cantik kelas XI dan XII. Baru genap satu bulan menjadi keluarga besar SMA 112 namanya langsung melejit ke tangga popularitas. Dunia Anji, sapaan akrab Janji memang tidak asing dengan wanita. Sejak SMP dia sudah terbiasa dengan gadis-gadis jelita yang mengelilinginya. Wajahnya yang sederhana, dibilang jelek tampang Anji gak parah-parah amat. Dibilang ganteng, wajahnya terpaut jauh dari sederet cowok ngetop lainnya. Ya 11-12 lah. Anji memang layak dinobatkan sebagai junior terkeren angkatan 2009-2010. Dia mempunyai segudang kelebihan. Tinggi, mancung, kulit cokelat, bodi atletis, modis, gaul, super ramah plus anak band. Siapa juga yang gak tergila-gila, dan ini nih yang membuat nama Anji cepat naik daun. Putra tunggal pengusaha terkaya sekabupaten. Jadi, apa sih yang diincar cewek-cewek itu kalau bukan uang Anji. Selain mendongkrak popularitas tentunya.

Anji memang tidak pernah mempermasalahkan alasan cewek-cewek itu mendekatinya. Selama dia senang dan dompetnya tetap tebal juga masih di area batas kewajaran. Anji sih ok-ok saja. Anehnya sampai detik ini Anji masih betah menjomblo. Padahal hari-harinya disibukkan dengan jadwal kencan. Ajakan nonton, tawaran makan di restoran mahal, pergi ke toko kaset atau sekedar cuci mata selalu menggoda Anji. Tapi buntut-buntutnya dia yang tekor. Alasan simple yang memaksa Anji merogoh koceknya. Dompet ketinggalan.  Hampir semua teman Anji, baik cewek atau cowok menggunakan alasan yang sama. Tahun 2010 gak cewek gak cowok sama-sama matre. Terkadang Anji dongkol juga, tapi mau bagaimana lagi??

***

   Matahari menyinari separuh belahan bumi. Sinarnya masih bersahabat, pukul 06.00. Anji masih berlayar di pulau kapuk. Semalaman suntuk dia melalang buana, menapaki keglamoran malam. Kelakuan ini sudah mendarah daging di tubuh Anji, menjadi pelarian kesendiriannya. Orang tua Anji yang super sibuk tak lagi mampu mengontrol perkembangan anaknya. Alhasil Anji tenggelam jauh di dasar kemewahan. Dia tidak pernah ambil pusing dengan pelajaran dan sekolah. Di otaknya hanya ada kesenangan dan kesenangan. Kalau Anji harus tinggal kelas, uang orang tuanya masih sanggup menyangganya. Sekolah dibawa hepi saja.

Kalau tidak mbak Sri mengobrak-abrik tidur Anji, mungkin dia tidak akan sampai di sekolah hari ini. Anji berjalan membelah pelataran parkir. Setelah sebelumnya memarkir motor balap keluaran terbaru yang mengantarnya. Sembari memainkan kunci motor di telunjuknya. Anji melenggang menuju kelas. Nyaris terlambat…

Seperti hari-hari sebelumnya. Tak satupun pelajaran yang nyantol di otaknya. Tapi Anji tidak pernah belingsatan saat ulangan. Uang dapat membeli jawaban. So far, nilai Anji selalu baik meski pas-pasan. Masa bodoh terhadap sekolah sudah menjadi motto Anji sejak SMP. Biarpun begitu, Anji masih peduli dengan masa depannya. Dia tak mau reputasinya hancur gara-gara tinggal kelas. Untuk menghindari kemungkinan tidak naik kelas. Anji tidak pernah luput absen hadir. Ya, daripada di rumah gak ada kerjaan mending sekolah. Kilah Anji.

Hari ini, seperti biasa penuh sesak cewek yang malang melintang. Nasib baik sedang menimpa Izka, senior cantik kelas XI. Karena Anji mengajaknya jalan.

“ Pulang sekolah aku tunggu di gerbang.” Izka tersenyum sok manis untuk meyakinkan Anji bahwa pilihannya memang tidak salah. Anji menyambutnya malas. Perasaannya hari ini sedang tidak bersahabat. Ada sesuatu yang tidak dimengerti Anji pasti sedang terjadi. Semakin Anji ingin melupakan perasaannya. Otaknya malah makin gencar memikirkannya.

Satu jam lebih setelah bel pulang berdering, Izka berdiri standby di gerbang. Tapi batang hidung Anji belum juga nongol. Beberapa kali dia menghubungi Anji tapi nomernya selalu sibuk. Kekesalan mulai menjalar tubuh Izka. Dia pergi begitu saja. Dasar Anji brengsek, brengsek… lo kabur lewat mana seh??  Makinya dalam hati.

Di saat yang sama, di lain tempat. Anji bersandar di tembok toilet cowok. Wajahnya begitu nelangsa. Air mulai menggenangi pelupuk matanya.

“He-hee Ayah… Ayah.” Tangis Anji pecah. Air mata yang ditahannya jatuh juga.

“ A-yah… Ayaaaaaaahhh!!! Hu..hu..hu…” Anji sangat terpukul dengan berita yang baru didengarnya. Berita yang menyesakkan dada. Ayahnya pergi, tidur untuk selama-lamanya. Ayah Anji yang seorang pengusaha meninggal karena serangan jantung. Dia yang mengidap penyakit jantung kronis tak sanggup mendengar kabar bahwa perusahaannya tidak dapat ditolong. Krisis keuangan yang menimpa perusahaannya setahun yang lalu sudah tidak dapat dipertahankan alias bangkrut.

Anji terus bersembunyi dari realita. Dia masih meringkuk dibilik kecil toilet. Melepas kesedihannya dan mencoba menerima kenyataan. Ingin sekali Anji selamanya di tempat ini. Dia takut pulang. Dia takut menyaksikan semua yang dibanggakannya lenyap. Tapi yang paling dia takutkan adalah dia belum siap menggantikan sang ayah. Mentalnya terlalu dini untuk menjadi seorang kepala keluarga.

Langit semakin menjingga. Anji sadar. Tak seharusnya dia di sini. Dia harus tegar dan kuat. Bukankah untuk naik satu tingkat lebih tinggi, manusia harus terlebih dahulu melalui ujian Tuhan? Dan bukankah setiap manusia menginginkan kehidupan yang selangkah lebih maju. Ok, stop. Hentikan kesedihan ini. Anji bertekad untuk siap menerima semua yang sudah digariskan Sang Maha Penulis Takdir.

“ Aku memang terlahir sebagai bayi yang lemah. Tapi aku tumbuh dan berkembang bukan untuk menjadi pecundang. Aku, Janji. Hidup untuk meraih kemenangan.”

Motor Anji melebur bersama kendaraan lain di jalan raya. Anji sang raja jalan telah menghilang. Nafsunya untuk  menaklukan kerasnya jalan raya, musnah. Kematian sang ayah membuka lebar mata Anji. Di balik helm hitamnya. Air mata Anji tak hentinya mengalir. Dia ingin sekali memutar waktu. Dia ingin kembali terlahir sebagai bayi lagi. Tapi bukan dari rahim Ibu kaya, seperti ibunya. Yang kerjanya hura-hura dan arisan gak jelas. Tanpa peduli sama sekali dengan pertumbuhan anaknya. Tapi Anji bisa apa? Sampai menangis darahpun. Anji tidak akan bisa mengubah garis takdirnya.

***

Pas dugaan Anji. Rumahnya sepi seperti biasa. Tak ada pelayat atau sanak keluarga. Kaki Anji gemetar  begitu menginjak pelataran rumah. Langkahnya seperti menyeret batu seberat 1000 ton. Satu cobaan kembali menghantam Anji. Tuhan seolah tak hentinya puas menghukum Anji. Anji tersenyum tipis tapi sinis.

“ Rumah disegel. Dalam waktu kurang dari 1x24 jam rumah harus dikosongkan.” Anji kembali tersenyum dalam tangis. Dia terduduk lemas. Dalam sekejap mata hidupnya berubah 360°. Terhempas dari puncak kejayaan mendarat jauh dalam kenestapaan. Selembar kertas biru muda dan amplop putih di dekat pot bunga menarik perhatian Anji. Tangan menjulur untuk meraihnya.
Janji anakku…
Anji maafkan ibumu nak. Ibu terpaksa meninggalkanmu . untuk sementara ini, ibu bersembunyi jauh dari pandangan para penagih hutang
Maaf ibu tidak bisa mengajakmu nak…
di amplop putih itu, ibu tinggalkan uang untukmu. Gunakan uang ini seperlunya. jagalah dirimu baik-baik… dari jauh ibu menyayangimu…

“ Ha-ha-ha… lucu sekali. Brengseeekk!! Brengsekkk!!” berkali-kali Anji membenturkan kepalanya ke tembok. Meredam amarah dan kecewanya. Satu-satunya orang yang tersisa untuk menopang hidupnya, kini telah melarikan diri. Tak sadar darah segar mulai mengucur deras. Semangat hidup Anji luntur, tekadnya untuk menaklukan cobaan Tuhan tak segairah tadi. Sekarang dia harus pergi kemana. Rumah megah ini bukan lagi rumahnya. Rasanya ingin sekali Anji pergi menyusul sang Ayah ke akhirat. Meninggalkan sejuta rasa sakit ini, ditinggal pergi orang-orang yang harusnya menjaga dan melindunginya. Anji menghubungi semua nomor yang ada di kontak ponselnya. Berharap salah satu dari mereka mau menampungnya. Tapi apa yang dia dapat, tak satupun dari mereka mengijinkan Anji menginap di rumahnya. Walaupun Anji sudah membujuknya dengan beribu alasan.

“ Ayolah man, sahari saja. Lo kan sobat baik gue, gue gak akan ngerepotin. Dulu apapun yang lo minta selalu gue kasih.”

“ Sory sob. Tapi gue bener-bener gak bisa.”

“ Gue bersedia jadi pembokat lo,”

“Sory man.” Tut..tut..tut.. sambungan terputus. Anji tersenyum dalam luka. Bertubi cobaan menghantamnya hari ini. Menguras pikiran, batin dan tangisnya. Sekarang dia sadar, selama ini dia tak punya seseorang yang tulus mencintainya. Orang-orang di sekelilingnya hanya mencintai uangnya. Dan disaat Anji terperosok di jurang kematian tak seorang pun dari mereka mau menolongnya. Tak satu pun. Beban sakit yang dipikul Anji semakin berat. Tak hanya batin, fisiknya juga berdarah. Kecemasannya larut dalam mimpi.

***

“ Nak bangun… bangun!” sayup-sayup terdengar  suara menyusup dalam tidur Anji. Anji membuka matanya perlahan. Seorang bapak setengah baya berdiri tegap. Anji langsung bangun.

“ Maaf Pak, saya ketiduran.” Seulas senyum mengembang di bibir yang keriput itu.

“ Kamu ini siapa?” bapak itu mengulurkan tangannya, membantu Anji berdiri.

“ Saya Janji, putra Rahmat Setya Pak. Pak ijinkan saya tinggal di sini Pak, saya mohon. Saya tak punya siapa-siapa lagi pak.” Lagi dan lagi air mata Anji mengalir. “ Saya bersedia tidur di pos satpam, saya mohon.” Bapak setengah baya itu menjadi nelangsa melihat kondisi Anji. Anji menangis di lututnya.

“ Sudah, sudah jangan begini. Ya sudah kamu bapak ijinkan tinggal di sini, tapi di pos satpam. Tidak apa-apakan, saya takut dimarahin bos kalau mengijinkanmu tinggal di rumah yang bukan hak saya. Kan kalau di pos satpam sewaktu-waktu dimarahi, saya masih bisa berdalih kalau kamu penjaga rumah ini. Betul tidak?”

“ Makasih pak… huhuhu” tangis Anji semakin mengeras. Mungkin dia merasa terharu karena dari sekian banyak orang yang mengkhianatinya ternyata masih ada orang yang peduli dengannya.

“ Cepat kamu pindah barang-barangmu. Saya harus pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik yak nak Janji. Semangat!” Anji hanya tersenyum. Dia tak habis pikir ada orang yang sangat baik kepadanya. Orang tuanya saja tidak pernah sepeduli itu dengannya. Mobil mewah segera berlalu dari hadapan Anji.

kurang cerdas. Kalau tidur di pos terus gue mandinya dimana?? Oh Goood!!”

***

Berita jatuh miskinnya seorang Janji Setya menjadi topik hangat pembicaraan anak satu sekolah. Tak perlu banyak waktu, dalam sehari bisa dipastikan satu kabupaten juga mendengarnya. Anji sudah menyiapkan segenap mentalnya. Hari pertama sekolah sebagai anak termiskin di dunia membuat Anji sedikit minder. Wanita-wanita yang biasa mengelilinginya lenyap dari peredaran. Anji sudah menduganya. Sampai istirahat terakhir Anji terus sendiri. Teman-temannya perlahan menjauh darinya. Dan yang membuat Anji semakin sadar bahwa uang berpengaruh besar terhadap hidupnya ya saat ulangan tiba.

“ Jin nyontoh.” Jina siswa terpandai sekelas yang biasanya sebagai pemasok utama jawaban Anji tak menggubris sama sekali ke arahnya.

“ Jin, Jin,Jinna!!”

“ Janji keluar!” hardik pak Satro, guru terkejam yang pernah ada. Anji melenggang perlahan menuju pintu. Dia tahu betul Jina sengaja tak mendengar  panggilannya, karena Anji jelas tak sanggup membayarnya .

“ Brengseek!!!” Anji tertunduk lemas. “Kalau terus begini gue bisa tinggal kelas. Ditambah lagi UKK kurang satu bulan lagi. Brengseekkk!! Gue mesti apa?? AAAAAAAh. Dari mana gue dapat duit buat bayar SPP. Uang dari wanita brengsek itu? gak. Gue gak sudi pakainya. Najis. Lebih baik gue gak naik kelas dari pada musti mengkhianati harga diri gue. Anji berfikir… Anji fikir… ya satu-satunya jalan gue harus kerja. Tapi kerja apa?? Kenapa susah sekali sih cari uang??” Anji melirik jam tangannya. Masih satu setengah jam lagi baru dia boleh masuk kelas. Ngapain ya enaknya. Ah, belajar saja.. Anji membuka tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Sekejap kemudian dia sudah melebur bersama keseriusan. Anji sudah berjanji pada dirinya sendiri dia harus mandiri. Karena tak satupun teman yang  mau membantunya. Termasuk menolongnya dari kebodohan. Tapi salah Anji sendiri mengapa dia terlalu buta dengan harta. Dan sebagai konsekuensinya dia harus mati-matian mengalahkan rasa malasnya. Membayar semua perbuatan bodoh yang dulu dilakoninya. Satu setengah jam bergelut dengan buku ternyata tak semenakutkan yang dia kira. Malah sangat mengasyikkan, sedikit Anji mulai mengerti. Dan Anji percaya jika dia selamanya mempertahankan  belajar seperti ini bukan tidak mungkin semester ini dialah sang jawara kelas. Rasa percaya diri kembali menguasai diri Anji seperti dulu.

Ulangan pertama fisika. Nilai hasil keringat Anji sendiri. Ancur sih tapi gak parah-parah amat. 45 lumayanlah bagi seorang pemula. Anji tak patah arang, di pos kecil bekas rumahnya dia terus belajar dan belajar. Anji menyambung nafasnya dengan berdagang gorengan di sekolahnya. Menanggalkan rasa malunya. Satu-satunya cara baginya untuk mendapatkan uang. Dia ingin hidupnya lebih berharga dan dirinya dihargai orang karena prestasinya, bukan uangnya. Mulai lagi lembaran baru, menggoreskan cerita indah tiap lembar kehidupan. Mengubur dalam cerita lama. Membenamkan duka yang menyayat lara. Janji Setya telah terlahir kembali. Bukan Janji anak konglomerat yang malas, tapi terlahir dari rahim sisi Anji yang tenggelam. Sisi lain Anji yang selama ini tidur. Sisi yang tidak pernah dia gali dalam dirinya. Anji menghilang, Janji datang…



Novita Andria S.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dengan Uang Belanja 20 ribu, Kamu Bisa Memasakkan 3 Menu Kaya Protein Ini untuk Suami loh, Cobain Yuk!

Hampir Lupa Jatuh Cinta

Perjuangan Pejuang Wifi Gratisan